Represif Aparat dalam Aksi Demonstrasi: Korban Jiwa, Orang Hilang, dan Urgensi Reformasi Kepolisian

Gelombang demonstrasi yang berlangsung pada akhir Agustus 2025 kembali menyingkap wajah represif aparat kepolisian dalam menangani aksi massa. Alih-alih menjamin kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin konstitusi, pendekatan keamanan justru menghasilkan penangkapan massal, korban jiwa, hingga laporan orang hilang. Situasi ini memperlihatkan kegagalan negara dalam melindungi hak dasar warganya serta mengungkap persoalan struktural yang mengakar dalam tubuh kepolisian.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat setidaknya 951 orang ditahan terkait aksi demonstrasi pada 25 dan 28 Agustus 2025. Bahkan, laporan Amnesty International Indonesia menunjukkan angka yang jauh lebih besar: 3.095 orang ditangkap di berbagai daerah, dengan jumlah terbanyak di Jakarta mencapai 1.438 orang.

Penangkapan dalam skala masif ini menimbulkan kekhawatiran serius. Selain berpotensi melanggar hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul, praktik tersebut memperlihatkan pola kriminalisasi terhadap warga negara yang menggunakan hak konstitusionalnya.

Korban Jiwa dan Orang Hilang

Lebih jauh dari angka penangkapan, represi aparat menghasilkan dampak paling tragis: korban jiwa. Komnas HAM melaporkan 10 orang meninggal dunia dalam rangkaian aksi pada 25–31 Agustus 2025 di sejumlah daerah, termasuk di Manokwari yang identitasnya belum diketahui. Mereka di antaranya:

  • Affan Kurniawan (Jakarta)
  • Sari Nawati (Makassar)
  • Saiful Akbar (Makassar)
  • M. Akbar Basri (Makassar)
  • Rusma Diansyah (Makassar)
  • Sumari (Solo)
  • Rheza Sandy Pratama (Yogyakarta)
  • Andika Lutfi Falah (Jakarta)
  • Iko Juliarto Junior (Semarang)

Selain itu, KontraS menerima 23 laporan orang hilang dalam periode yang sama. Hingga 3 September 2025, masih ada 8 orang yang belum ditemukan. Fakta hilangnya warga sipil ini tidak hanya menimbulkan luka mendalam bagi keluarga korban, tetapi juga menciptakan ketakutan kolektif di masyarakat. Pesan yang tersirat jelas: kritik terhadap pemerintah bisa berujung pada konsekuensi fatal.

Pelanggaran Hukum dan Prinsip Kepolisian

Tindakan represif aparat jelas melanggar kerangka hukum nasional. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 menjamin kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, sementara Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian menekankan empat prinsip dasar: Legalitas, Nesesitas, Proporsionalitas, dan Preventif. 

Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Penggunaan kendaraan taktis yang menewaskan Affan Kurniawan, penangkapan massal ratusan hingga ribuan orang, serta penyisiran terhadap pelajar dan demonstran yang dicap “anarkis” tanpa bukti kuat, mencerminkan kegagalan prinsip Proporsionalitas dan Preventif. Polisi, alih-alih menegakkan hukum, justru melanggar aturan internalnya sendiri.

Urgensi Reformasi Kepolisian

Kasus kematian 10 orang dan hilangnya 8 lainnya bukan sekadar insiden, melainkan manifestasi dari budaya impunitas yang terus dibiarkan. Ketika aparat bisa bertindak sewenang-wenang tanpa sanksi, citra kepolisian runtuh, dan kepercayaan publik terkikis.

Reformasi kepolisian tidak bisa lagi berhenti pada kosmetika kelembagaan. Diperlukan langkah-langkah konkret:

  1. Membuka ruang dialog substantif antara pemerintah, masyarakat sipil, aktivis, dan mahasiswa sebagai jalan penyelesaian konflik sosial.
  2. Mengesahkan legislasi khusus yang melindungi pembela hak asasi manusia dari kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan.
  3. Memperkuat mekanisme pengawasan eksternal yang independen, berwenang menginvestigasi, dan memberikan rekomendasi sanksi terhadap anggota Polri yang melanggar.

Demonstrasi Agustus–September 2025 adalah pengingat pahit tentang rapuhnya ruang sipil di Indonesia. Data dari lembaga independen membuktikan bahwa sikap represif aparat bukanlah penyimpangan sesaat, melainkan gejala sistemik. Untuk membangun kepolisian yang benar-benar melindungi masyarakat, dibutuhkan komitmen politik yang kuat untuk menegakkan supremasi hukum, menghapus budaya impunitas, dan menempatkan hak asasi manusia sebagai fondasi utama.

Referensi

  • Komnas HAM: 951 Orang Ditahan Polisi Terkait Aksi Demo 25 dan 28 Agustus. Kompas (29 Agustus 2025).
  • Amnesty International Indonesia: 3.095 Orang Ditangkap Terkait Demo. Kompas (4 September 2025).
  • Komnas HAM Sepakat dengan PBB, Investigasi Kekerasan Aparat. Kompas (2 September 2025).
  • KontraS Terima 23 Laporan Orang Hilang Sejak Demo 25 Agustus. Detik (2 September 2025).
  • KontraS Sebut 8 Orang Masih Hilang Usai Gelombang Demo Agustus. CNN Indonesia (4 September 2025).

Ozi Atiko Fahmi
Ozi Atiko Fahmi
Articles: 1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *