Press Release
Minggu, 14 September 2025, Lingkar Studi Feminis bersama Kolektif Perempuan Tangerang Raya, Lintar Setara Serang dan Lingkar Puan Pandeglang menggelar nonton bareng film Mantra Berbenah (produksi Watchdoc x Reformasi Polri), disusul diskusi publik mengenai isu reformasi kepolisian yang diangkat dalam film tersebut.
Diskusi menghadirkan Ardiansyah, aktivis Reformasi Polri sebagai narasumber serta tiga penanggap; Jessica (Puantara), Fitri Awaliyah (Lintara), dan Sabina (Lingkar Puan). Acara dipandu oleh Irhamna selaku moderator.
Dalam pengantar refleksinya, moderator menyampaikan bahwa Mantra Berbenah tidak sekadar menampilkan data, melainkan menghadirkan wajah nyata dari nurani masyarakat yang melihat perlunya pembenahan institusi kepolisian. “Ada rasa marah, kecewa yang diwakilkan para pembicara dalam film. Itu mendorong kita untuk bertanya dan menggali lebih jauh tentang reformasi Polri hari ini,” ujarnya.
Pada sesi pertama, moderator mengajukan pertanyaan kepada para penanggap mengenai bagaimana perempuan muda merefleksikan pandangan dan tanggapan mereka atas isu-isu yang disorot dalam film Mantra Berbenah.
Jessica menyoroti bagaimana Mantra Berbenah menyajikan data yang kuat dari beragam perspektif korban, sejarawan, hingga aktivis—sebagai bukti bahwa institusi kepolisian mengalami kegagalan sistemik. Menurutnya, budaya maskulinitas toksik dalam tubuh Polri justru melanggengkan kekerasan dan tindakan represif. Ia mencontohkan bagaimana korban yang melapor sering kali kembali menjadi korban, bahkan menghadapi intimidasi dari aparat sendiri.
“Bagaimana mungkin korban percaya kepada polisi, ketika mereka berhadapan dengan pelaku sekaligus? Institusi ini memang sebermasalah itu,” tegas Jessica.
Ia juga menyinggung unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) yang seharusnya menangani kasus KDRT dan kekerasan berbasis gender. Namun, dalam praktiknya banyak laporan korban yang justru dipandang sebagai aib atau diarahkan untuk berdamai, alih-alih ditindaklanjuti secara adil. Jessica menilai bahwa kegagalan tersebut terjadi karena banyak aparat tidak memiliki perspektif korban maupun perspektif gender. Hal ini membuat kasus-kasus kekerasan berlarut-larut, sementara di sisi lain polisi masih menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi.
Menjawab mengenai tanggapan atas isu mantra berbenah ini, Fitri Awaliyah menyampaikan belasungkawa atas wafatnya Affan Kurniawan, korban brutalitas polisi, dan mengingat para kawan yang gugur maupun terluka dalam perjuangan di jalanan. Menurutnya, kebebasan menyuarakan pendapat yang dijamin konstitusi justru dibalas dengan represi, tembakan, intimidasi, hingga kekerasan aparat.
Ia menegaskan, hal itu jelas bertolak belakang dengan mandat Polri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, yang menyebut tugas utama polisi adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Merespons film Mantra Berbenah, Fitri menekankan empat alasan pentingnya reformasi Polri: Pertama, reformasi yang sejak 2000 belum tuntas membuat Polri gagal bertransformasi menjadi aparat sipil yang demokratis, justru masih menampilkan wajah militeristik dan represif. Kedua, maraknya pelanggaran HAM yang berujung pada krisis kepercayaan publik, tercermin dari data KontraS yang mencatat 600 korban kekerasan pada 2022–2023, termasuk tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang.
Selain itu, ia menekankan pentingnya perspektif perempuan, sebab banyak korban kekerasan mengalami double victimization ketika melapor, sementara unit PPA dinilai belum mampu menjamin keadilan. Sementara itu juga ada ancaman RUU Polri dan RUU KUHAP yang memberi kewenangan penyadapan tanpa pengadilan, membuka celah penyalahgunaan wewenang dan memperpanjang daftar represi terhadap masyarakat sipil. Ia mempertegas pentingnya melihat Polri melalui kacamata feminis: aparat harus peka pada isu HAM dan gender, menerapkan SOP khusus bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan, serta diawasi secara eksternal, bukan hanya internal.
“Kalau polisi saja tidak berpihak kepada rakyat, lalu kepada siapa lagi kita bisa berharap? Reformasi Polri adalah kebutuhan mendesak bagi demokrasi kita,” ujar Fitri.
Pada kesempatan yang sama, Sabina menegaskan bahwa Mantra Berbenah menghadirkan potret nyata persoalan serius dalam tubuh kepolisian Indonesia: kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, serta melemahnya akuntabilitas politik. Ia menegaskan bahwa masalah Polri bukan hanya sekadar “oknum”, melainkan persoalan sistemik yang telah berlangsung lama.
“Film ini jadi refleksi penting bahwa Polri harus direformasi dari akarnya. Tidak bisa terus-menerus bersembunyi di balik kata oknum,” tegasnya.
Diskusi kemudian berkembang dengan berbagai pengalaman perempuan yang hadir, mulai dari laporan kekerasan seksual yang mandek karena dianggap “kurang bukti”, hingga laporan kehilangan yang tak pernah ditindaklanjuti. Cala (Puantara) pun mengemukakan pertanyaan: “sejauh mana reformasi Polri benar-benar mampu mengubah budaya kekerasan dan impunitas di tubuh kepolisian? Bagaimana akuntabilitas reformasi bisa dijaga dan dijalankan dengan transparan, jika mentalitas aparat masih konservatif dan enggan berbenah?”
Menjawab hal itu, Ardiansyah selaku narasumber dan aktivis Reformasi Polri, menanggapi dengan menyoroti konteks terkini: presiden baru saja membentuk tim reformasi Polri. Pertanyaannya, apakah tim ini benar-benar akan membawa perubahan yang diharapkan?
Ia mengingatkan bahwa secara sejarah, Polri dulunya bagian dari TNI, sebelum dipisahkan pascareformasi 1998. Pemisahan itu dimaksudkan agar peran keduanya jelas: TNI mengurus pertahanan negara, sementara Polri bertugas melindungi warga sipil dan menegakkan hukum. Namun, menurut Ardiansyah, di situlah letak kegagalan reformasi. Pemisahan tersebut tidak berhasil menjadikan Polri lebih humanis sebagaimana dicita-citakan.
“Cita-cita reformasi adalah menjadikan polisi aparat sipil yang melindungi dan mengayomi masyarakat, bukan militer yang berganti seragam. Tapi itu tidak pernah terwujud,” ujarnya.
Ia menambahkan, dalam dua dekade terakhir Polri justru semakin kuat, bahkan lebih beringas daripada TNI di masa pemerintahan sebelumnya. Di era Presiden Jokowi, anggaran Polri terus meningkat dan kini di bawah Presiden Prabowo muncul kecenderungan mengembalikan dominasi TNI. Kekerasan dan korupsi yang telah mengakar di tubuh Polri, menurutnya tidak pernah disentuh serius. Transparansi anggaran pun sulit ditegakkan karena Polri kerap masih diperlakukan layaknya institusi militer. Padahal kata Ardiansyah, cita-cita reformasi jelas: menjadikan Polri aparat sipil yang akuntabel, humanis, dan bebas dari budaya militeristik.
Menjawab pertanyaan apakah reformasi Polri mungkin dilakukan, Ardiansyah menegaskan bahwa hal itu bisa dicapai, namun harus ditempuh dengan langkah sistematis. Ia menekankan pentingnya membentuk lembaga independen yang benar-benar mengawasi kepolisian, terpisah dari struktur internal seperti tim reformasi atau Kompolnas.
“Polri memiliki jangkauan kekuasaan yang sangat luas: 38 Polda di seluruh Indonesia, dengan Polres di setiap kabupaten, Polsek di setiap kecamatan, hingga pos polisi di tingkat desa. Mereformasi institusi sebesar ini jelas membutuhkan keberanian, tapi itu mungkin dilakukan,” ujarnya.
Moderator kemudian menutup diskusi dengan refleksi bahwa pemutaran Mantra Berbenah memberi ruang bagi masyarakat untuk lebih memahami urgensi reformasi Polri. Harapannya, diskusi ini mendorong warga, mahasiswa, dan aktivis untuk terus bersuara serta mengambil peran dalam mendorong perubahan. Sebagai bagian dari suara perempuan muda Banten, Puantara, Lintara, dan Lingkar Puan akan terus menyuarakan pendapat, mengawal reformasi kepolisian agar tak hanya wacana, tetapi terwujud demi masyarakat yang lebih adil dan setara.
Penulis: Irhamna – Puantara