Jakarta, 14 November 2025 – Aliansi Ciputat Melawan Impunitas (ACMI) menggelar aksi demonstrasi di depan Istana Negara untuk menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo. Aksi ini diikuti oleh berbagai organisasi, di antaranya Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan (KOMPAK), Mahasiswa Trojol Mania (Matraman), serta kawan-kawan yang membawa perspektif feminisme, termasuk Lingkar Studi Feminis (LSF) dan Puantara (Perempuan Tangerang Raya).
Pemberian gelar pahlawan ini disahkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 9 November 2025. Ironisnya, dalam daftar penerima gelar tersebut, nama Marsinah aktivis buruh perempuan yang dibunuh pada era Orde Baru, bersanding dengan Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo. Kasus Marsinah hingga kini belum diusut tuntas, bahkan hasil persidangan yang membebaskan terdakwa diduga direkayasa oleh pemerintah saat itu. Menempatkan nama-nama yang bertolak belakang ini adalah bentuk manipulasi sejarah dan penghapusan memori kolektif, seolah-olah negara ingin menimbun luka masa lalu dengan topeng kepahlawanan.
Dalam orasinya, Anis Fazirotul Muhtar dari Lingkar Studi Feminis menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto berarti menghidupkan kembali ideologi Ibuisme Negara. Ideologi ini menutup ruang politik bagi perempuan dan mengabaikan isu keadilan gender. Citra perempuan yang semula dialiri semangat juang direduksi menjadi apolitis, patuh, dan terkungkung dalam model ideal ibuisme. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan bukan hanya pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan, tetapi juga pengabaian terhadap perjuangan perempuan yang selama ini melawan kekerasan dan pembungkaman politik.
Aksi ini ditutup dengan pembacaan puisi Ayat-Ayat Api– Sapardi oleh orator dari Puantara. Puisi tersebut menggambarkan keironisan dan kesadisan kematian Marsinah: tubuh yang ditetak, selangkangan yang diacak-acak, dan tubuh yang dibirulebamkan dengan besi batangan, sebuah strategi kekerasan terhadap tubuh perempuan. Bait-bait ini menjadi pengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan sekadar catatan sejarah, tetapi luka yang masih menganga. Seperti kata Karlina Supelli: “Bersediakah kita mencecap derita tubuh yang sebagian di antaranya pun masih terkubur kerahasiaan?” Pertanyaan ini menohok kita semua, apakah kita rela melupakan luka yang belum sembuh?

Lingkar Studi Feminis dan Puantara menolak keras gelar pahlawan bagi sosok yang merepresentasikan kekerasan dan penghapusan sejarah. Kami mengecam negara yang bukannya menuntaskan kejahatan masa lalu, justru mengabadikan pelaku sebagai teladan, cermin bahwa rezim hari ini mewarisi logika Orde Baru: menormalisasi impunitas dan menutup mata terhadap luka sejarah.
Kontributor : Irhamna




