Soeharto, Pahlawan Nasional? Sebuah Titik Mundur Demokrasi di Era Prabowo-Gibran

Keputusan Presiden Prabowo untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto adalah langkah politik yang tidak hanya menyinggung akal sehat publik, tetapi juga melukai ingatan kolektif bangsa terhadap sejarah kekerasan negara. Di tengah harapan akan arah demokrasi yang lebih terbuka, keputusan ini justru menegaskan watak kekuasaan yang mengagungkan stabilitas semu, sambil menutupi represi yang menjadi fondasinya.

Soeharto bukan figur yang bisa disamakan dengan pahlawan. Ia adalah simbol dari represi militeristik, pembungkaman kritik, dan penghilangan kemanusiaan selama lebih dari tiga dekade kekuasaan Orde Baru. Di bawah pemerintahannya, ribuan orang dibunuh dan disiksa hanya karena perbedaan pandangan politik. Media dibungkam, buku-buku dilarang, dan kampus dijadikan ruang pengawasan ketat atas pikiran kritis.

Tidak berhenti di situ, kekuasaan Soeharto juga menancapkan ideologi yang menundukkan perempuan secara sistematis melalui konsep “Ibuisme Negara”, ideologi yang menempatkan perempuan semata sebagai istri dan ibu rumah tangga, penjaga harmoni keluarga, bukan warga negara yang berdaulat atas tubuh dan pikirannya. Dari situ lahir sistem sosial yang menyingkirkan perempuan dari ruang politik dan ekonomi, sambil menggantungkan keberlangsungan ekonomi keluarga pada kerja tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa pengakuan.

Warisan inilah yang hingga kini masih kita rasakan dalam bentuk ketimpangan ekonomi, diskriminasi gender, dan lemahnya posisi perempuan pekerja di sektor domestik maupun industri. Dalam sejarah kita, kejahatan yang dilakukan di bawah rezim Soeharto bukan sekadar kesalahan politik, ia adalah kejahatan kemanusiaan. Dari tragedi 1965, penembakan misterius, Talangsari, Rumoh Geudong, penghilangan paksa aktivis, hingga perkosaan massal Mei 1998, semuanya meninggalkan luka yang belum pernah benar-benar diakui negara.

Namun alih-alih menuntaskan penyelesaian kasus pelanggaran HAM, negara justru memilih mengangkat pelakunya menjadi pahlawan. Penganugerahan ini menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo–Gibran lebih memilih mendekap masa lalu yang gelap, ketimbang melanjutkan cita-cita reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata. Soeharto tidak layak disebut pahlawan. Ia adalah representasi dari rezim yang menindas rakyatnya, menghancurkan kebebasan berpikir, dan mengorbankan generasi demi stabilitas semu.
Kontributor: Lingkar Studi Feminis

Eva Nurcahyani
Eva Nurcahyani
Articles: 6

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *